Meski masa kejayaan Nuruddin relatif singkat, perannya dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu tak bisa diabaikan. Dia memainkan peran penting dalam membawa Tradisi Islam ke wilayah tersebut.
Rentang kehidupan Nuruddin Ar-Raniri di isi dengan pengabdian, dakwah dan pencerahan untuk umat Islam. Dia adalah seorang sufi yang paling lengkap julukannya dan paling produktif dalam berkarya mentransfer ilmu pengetahuan. Tidak kurang dari 29 buku menjadi warisan yang berharga darinya. Walaupun lahir di Ranir, Gujarat, India, tempat dimana nenek moyang masyarakat Aceh berasal, kerena adaptasi, reputasi dan tingginya ilmu pengetahuan yang dimiliki Nuruddin, dia menjadi pembaharu yang paling disegani di wailayah Melayu Indonesia, khususnya Aceh pada 1600-an.
Setelah berguru di Gujarat, antara lain kepada Syekh Ba Syaiban, Syekh Tarekat Rifa’iyah, ia melanjutkan studinya ke Tarim, Hadramaut Yaman Selatan. Nuruddin berhasil menjadi ulama besar yang berpengetahuan luas dan tercatat sebagai Syekh Tarekat Rifa’iyah dan bermazhab Syafi’i dalam bidang Fikih. Pada 1621 ia berada di Mekah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji.
Tahun berapa ia pertama kali berada di Aceh, masih menjadi pertanyaan dan perdebatan. Melihat kemahirannya menulis dan berbahasa Melayu dan adanya karangan yang berbahasa Melayu yang ditulis sejak 1633, orang memperkirakan, ia pada tahun 1620 telah masuk ke Aceh dan menelaah paham Wujudiyah yang sedang dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin As-Sumatrani, yang menjadi mufti pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, dan temannya Hamzah Fansuri.
Setelah Syamsuddin wafat dan Iskandar Tsani menjadi Sultan, Nuruddin datang lagi ke Aceh. Tak lama kemudian ia diangkat menjadi Mufti, dan selama tujuh tahun dalam kedudukannya sebagai mufti itu ia sering berdebat dengan pengikut paham Wujudiyah, dengan tujuan agar pengikut paham tersebut meninggalkan pahamnya. Tidak berhasil membujuk pengikut paham Wujudiyah agar kembali ke akidah yang murni, Nuruddin merekomendasikan hukuman mati untuk setiap pengikut paham Wujudiyah.
Sikap keras Nuruddin ini dilatarbelakangi oleh masa kecilnya yang penuh intimidasi. Ia hidup di tengah komunitas Hindu di Desa Ranir dimana mayoritas Hindu tidak mengenal sedikitpun toleransi dengan penganut agama dan paham apapun.
Nuruddin adalah ulama yang berpengetahuan luas dan produktif dalam menulis. Ia menulis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, Fikih, akidah, hadis, sejarah, Tasawuf, juga perbandingan agama. Kitab karangannya sebagian berbahasa Melayu dan sebagian berbahasa Arab.
Sebagian karangannya itu bertujuan menyerang paham Wujudiyah yang ditegakkan oleh Hamzah Fanzuri dan Syamsuddin As-Sumatrani, diantaranya As-Sirat al-Mustaqim (jalan lurus), Asrar Al-Insan Ma’rifat ar-Ruh wa Ar-Rahman (Rahasia manusia dalam mengetahui Roh dan Tuhan), Al-Fathu al-Mubin Ala al-Mulhidin (kenangan nyata atas kaum yang menyimpang).
Sebelum kedatangan Nuruddin Ar-Raniri, adalah masa keemasan Islam mistik, ketika aliran Wujudiyah berjaya tidak hanya di Aceh, tapi juga di banyak bagian wilayah Nusantara. Banyak tela’ah menyebutkan Nuruddin lebih tepat disebut sebagai tokoh sufi dibanding dengan pembaharu, padahal dia juga merupakan tokoh pembaharu paling penting pada abad ke 17.
Guru Ar-Raniri yang paling terkenal dari India adalah Abu Hafs Umar bin Abdullah Ba Syaiban Al-Tarimi Al-Hadrami, yang juga dikenal di wilayah Gujarat sebagai Syyaid Umar Alaydrus. Ba Syaiban seperti juga Nuruddin, berasal dari keluarga Hadrami. Menurut Nuruddin, Ba Syaibanlah yang membaiatnya dalam tarekat Rifa’iyah, sebuah tarekat Arab. Dia menunjuk Nuruddin sebagai Khalifahnya dan bertanggung jawab menyebarkannya di wilayah Melayu Indonesia. Tapi tarekat Rifa’iyah bukan satu-satunya yang dikaitkan dengan Nuruddin, di juga masuk tarekat Alaydrusiyah dan tarekat Qadariyah.
Nuruddin jelas merupakan perintis paling menonjol dari keluarga ulama Alaydrusiyah di kepulauan Melayu Indonesia. Tidak ada informasi kapan Nuruddin menetap dan mengadakan perjalanan pertama kali di wilayah Melayu.
Serba Bisa
Nuruddin adalah seorang sufi, teologi dan seorang Fakih, ahli hukum. Dia juga seorang sastrawan dan politisi. Kepribadiannya yang menguasai banyak bidang dapat menimbulkan kesalah pahaman, terutama jika kita memandang hanya dari satu aspek tertentu pemikirannya. Akibatnya sampai saat ini dia lebih sering dianggap sebagai seorang sufi yang hanya disibukkan dengan praktik-praktik mistis, padahal dia juga seorang fakih yang perhatian utamanya adalah penerapan praktis aturan-aturan paling mendasar Syariat. Oleh karena itu untuk memahaminya secara benar kita harus mempertimbangkan semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya.
Meski masa kejayaan Nuruddin di Nusantara relatif singkat, perannya dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu Indonesia tak bisa diabaikan. Dia memainkan peranan penting dalam membawa tradisi besar Islam ke wilayah ini dengan menghalangi kecendrungan kuat percampuran tradisi lokal ke dalam Islam, tanpa mengabaikan peranan pembawa Islam dari Timur Tengah atau dari tempat lain. Nuruddin dapat dikatakan sebagai mata rantai yang sangat kuat menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara. Jelas ia merupakan penyebar terpenting pembaharuan Islam di Nusantara.
Nuruddin adalah ulama sufi pertama di Nusantara yang mengambil inisiatif menulis semacam buku pegangan standard mengenai kewajiban-kewajiban agama yang mendasar bagi semua orang. Meskipun aturan-aturan syariat atau fikih dalam batas tertentu telah dikenal dan di praktekkan sebagian kaum muslimin Melayu Indonesia. Tidak ada satupun karya Melayu yang dapat diacu sebelum munculnya karya Nuruddin. Karena itu tidak sulit memahami, mengapa karya ini menjadi sangat populer dan masih digunakan sampai hari ini di beberapa bagian dunia Melayu Indonesia.
Kepedulian Nuruddin terhadap penerapan aturan-aturan terperinci fikih mendorongnya menyarikan bagian-bagian karyanya. Syirat al-Mustaqim, dan mengeluarkannya sebagai karya terpisah.
Peranan Nuruddin dalam mengintensifkan proses Islamisasi juga jelas dalam bidang politik. Selama mengemban tanggung jawab sebagai Syekh al-Islam kesultanan Aceh, diantara tugas-tugasnya dalam memberi nasihat kepada Sultan Iskandar Tsani dalam berbagai masalah, baik yang bersifat religius maupun poltik.
Dalam karyanya Bustanus Salatin, dia mengungkapkan bagaimana menasihati Sultan dalam fungsinya sebagai penguasa serta tanggung jawab dan kewajibannya kepada rakyat untuk melindungi yang lemah dan mendatangkan kebaikan bagi rakyat, yang akan membuatnya dilindungi dan di rahmati Tuhan. Barangkali karena nasihat-nasihatnya, Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman-hukuman yang tidak islami bagi para penjahat, seperti mencelup minyak, dan menjilat besi. Sultan juga melarang rakyatnya membahas masalah-masalah seperti wujud dan dzat Tuhan.
Menurut Nuruddin peranan syariat tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai hadis Nabi, karena itu dia mengumpulkan hadis dalam karyanyaHidayah al-Habib fi al-Targhih wa al- Tartib. Sejumlah hadis diterjemahkannya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu agar kaum muslim mampu mamahaminya secara benar. Dalam risalah ringkas itu dia menginterpolarisasikan hadis-hadis dengan ayat Al-Qur’an untuk mendukung argumen-argumen yang melekat pada hadits-hadits tersebut. Karyanya ini merupakan rintisan dalam bidang hadis di nusantara dan menunjukkan pentingnya hadis dalam kehidupan kaum muslimin.
Di samping menjelaskan perbedaan antara tasawuf yang menyimpang dan tasawuf ortodok serta menekankan pentingnya syariat, Nuruddin pun mengambil alih tugas lain yang juga berat, yaitu membuat kaum muslimin memahami secara benar pokok-pokok keyakinan akidah.
Nuruddin tidak hanya memainkan peranan penting dalam menjelaskan kepada kaum muslimin Melayu Indonesia dasar-dasar pokok keimanan dan ibadah Islam, tetapi juga mengungkap kebenaran Islam dalam suatu prespektif perbandingan dengan agama-agama lain. Dialah alim ulama pertama di wilayah Melayu yang menulis sebuah karya mengenai perbandingan agama yang dinamai Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan serta bagian tertentu yang menyinggung subyek yang sama dalam karya-karyanya yang lain.
Pengaruhnya dalam bidang sejarah tidak kalah besarnya. Dialah penulis pertama di Tanah Melayu yang menyajikan sejarah dalam konteks universal dan memprakarsai bentuk baru penulisan sejarah Melayu. buku sejarahnya yang berjudul Bustan al-Salatin merupakan karya terbesarnya yang mencerminkan minat khusus pengarangnya terhadap sejarah.
Karya ini, terdiri atas tujuh buku, menunjukkan bagaimana dia berhasil memanfaatkan beberapa tradisi Historiografi Islam dan memperkenalkan kepada khalayak Melayu. Dua buku pertama, merupakan sejarah dunia dari sudut pandang teologis. Sementara buku pertama di tulis dengan mengikuti pola karya Al-Thabari, Tarikh al Rasul wa al-Muluk. Di sini pembahasannya mulai dari sejarah, bangsa Persia, Yunani, dan Arab di masa Pra-Islam, di ikuti dengan analitis Islam. Buku kedua menjelaskan sejarah para Raja India dan Melayu Indonesia. Lima buku berikutnya, mengikuti pola karya Al-Ghazali, Nasihat al-Muluk, dan karenanya dimaksudkan sebagai buku petunjuk bagi keluarga-keluarga kerajaan.
Karyanya ini merupakan salah satu buku terpenting tentang sejarah awal Melayu Indonesia. Ia merupakan sumber yang tak tergantikan untuk rekonstruksi sejarah awal Islam di wilayah Melayu Indonesia. Makna pentingnya semakin jelas mengingat kenyataan bahwa sejarah Islam diwilayah ini kebanyakan di tulis berdasarkan sumber-sumber barat. Keahlian Nuruddin menyangkut sejarah Nusantara jelas luar biasa. Dia ahli dalam diskripsi sejarah Melayu.
Tidak kalah penting peranannya dalam mendorong lebih jauh perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa utama di wilayah Melayu Indonesia. Dia bahkan diklaim sebagai pujangga Melayu pertama. Meskipun bahasa ibu Nuruddin bukanlah Melayu. Penguasaannya atas bahasa ini tidak diragukan lagi.
Yang juga tidak kalah penting adalah keikhlasan Nuruddin dalam menyikapi kehidupan. Setelah sultan berganti dan roda kehidupan berputar, ia keluar dari lingkaran kekuasaan. Paham Wujudiyah kembali berkibar setelah Sultan yang baru mengangkat Syamsurizal al-Minangkabau menjadi mufti.
Nuruddin memutuskan pulang ke Ranir dan mengasuh pesantren di sana. Tapi produktivitasnya dalam menulis buku tidak pernah surut.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan